Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BPJS dan INA CBGs

Info BPJS

Kebijakan Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, tentang metode sistem pembayaran pelayanan kesehatan, merupakan langkah nyata dari upaya pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya, dan khususnya untuk melayani masyarakat miskin Indonesia.

info bpjsDalam salah satu buletinBUK (Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI) edisi Mei 2013, ditampilkan contoh kasus, pasien A menjalani perawatan selama 5 hari di rumah sakit, setelah sembuh, dikenakan biaya rawat sebesar Rp. 5 juta, namun ada juga pasien B dengan diagnosa yang sama dirawat selama 10 hari pada rumah sakit lain, dikenakan biaya rawat Rp. 6 juta, kedua pasien mendapatkan pelayanan kelas III, namun tarif berbeda.

Contoh lain, ada pasien sakit demam berdarah dirawat 3 hari, dan diberi kabar bahwa jam 7 pagi sudah boleh pulang, namun tetap harus menunggu kunjungan dokter (visite) yang merawatnya, dan hingga jam 5 sore dokter ternyata belum melakukan kunjungan dan pemeriksaan terakhir, sehingga pasien tertunda kepulangannya, dan berakibat harus menanggung bertambahnya biaya perawatan.

Contoh diatas menggambarkan kondisi variasi tarif rumah sakit pada diagnosa penyakit dan kelas perawatan yang sama, dan kondisi pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia selama ini, yang masih terkontaminasi dan jauh dari kondisi efisien, sistem fee for services, membuat kondisi beban biaya yang harus ditanggung pasien, tergantung apa kata dokter, dan apa kata rumah sakit.

Dengan adanya kebijakan pemerintah, hal terjadi diatas semaksimal mungkin untuk ditiadakan, karena dengan adanya kebijakan tersebut besaran tarif dapat diperhitungkan dengan berdasarkan pada diagnosa penyakit, termasuk tindakan perawatan, obat atau jenis pemeriksaan penunjang harus diberikan, besaran tarif sudah ditentukan tetap dan konstan apapun dan berapapun tindakan medik dilakukan.

Saat berlakunya program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN, dengan penyelenggara ditunjuk pemerintah yakni BPJS Kesehatan, pada awal Januari 2014, diharapkan pasien dapat mengetahui besaran biaya perawatan penyakitnya, sebelum ada tindakan atau pelayanan medik dilakukan, dengan berdasarkan diagnosis atau kasus penyakitnya.


Mengapa perlu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?

Seperti kata bijak, tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini kecuali perubahan itu sendiri, setiap manusia mengalami perubahan, dari kecil, dewasa, tua, dan renta, ... itu sudah pasti, namun dalam kepastian itu, ada beberapa hal tidak terduga, seperti sakit, bisa datang kapanpun.

Sakit bisa datang ketika kita masih produktif, berpenghasilan cukup, tetapi juga bisa datang saat kita sudah tua dengan penghasilan menurun atau tidak berpenghasilan dikarenakan sakit, dalam keadaan seperti ini, bagaimana kita bisa mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan yang memadai, terjangkau, kapan saja dan dimana saja ?.

Banyak kritik dari beragam pihak yang menyoroti sisi kekurangan dari program ini, namun lebih banyak yang meletakkan harapan, bahwa program ini tetap berjalan dan terus dikembangkan, karena jika bukan program seperti ini, lantas program jaminan kesehatan rakyat seperti apa ?, dan jika tidak dimulai sekarang, lantas kapan lagi ?, serta jika bukan kita memulainya, lantas siapa ?.


Manfaat adanya Jaminan Kesehatan Nasional

*     Memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau.
       Persyaratan daftar, selain copy KTP, pasPhoto 3x4, dan copy KK, biaya bulanan premi ditetapkan bahwa :

       **    Kelas I                       Rp. 59.500 per bulan.
       **    Kelas II                      Rp. 42.500 per bulan.
       **    Kelas III                     Rp. 25.500 per bulan.

*     Asuransi Kesehatan Sosial menerapkan kendali mutu dan kendali biaya, artinya peserta mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya wajar dan terkendali, bukan "terserah dokter" atau "terserah rumah sakit".

*     Menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan berkelanjutan).

*     Memiliki Portabilitas, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia.


Tahapan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional

Tahap-1               1 Januari 2014.

*    PBI (Jamkesmas)
*    TNI/POLRI dan Pensiunan
*    PNS dan Pensiunan
*    JPK Jamsostek

Tahap-2               paling lambat 1 Januari 2019.

*    Seluruh penduduk yang belum masuk sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Metode sistem pembayaran pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia, merupakan sistem pembayaran pelayanan kesehatan berdasarkan diagnosis penyakit secara berkala terus mengalami penyempurnaan.

INA-CBGs dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 903/MENKES/PER/V/2011, tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat atau disingkat Jamkesmas, dan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 tentang Penetapan Tarif Rumah Sakit berdasarkan Indonesia Case Base Groups, atau disingkat dengan INA-CBGs, merupakan dasar penerapan kebijakan sistem pembayaran pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia.

INA-CBGs semula bernama INA-DRGs (Indonesia Diagnosis Related Groups), dan telah selama 5 tahun terakhir diterapkan di Indonesia, sebelum kemudian tahun 2011 melalui KepMenKes, pengelompokan diagnosis INA-DRGs diperbaharui menjadi INA-CBGs.

INA-CBGs merupakan sistem pembayaran berdasarkan tarif pengelompokan diagnosis memiliki kedekatan secara klinis dan homogenitas sumber daya yang dipergunakan, dan merupakan metode pembayaran pelayanan kesehatan prospektif berdasarkan perbedaan dalam bauran casemix.

Pembagian regional BPJS

INA-CBGs dibagi menjadi empat regional, diantaranya :
*     Regional-1 daerah Jawa dan Bali.
*     Regional-2 daerah Sumatera.
*     Regional-3 daerah Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
*     Regional-4 daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku dan Papua.

Pada masing-masing regional, masih terbagi menurut jenis / tipe dan kelas rumah sakit, disamping itu juga dilengkapi 7 kelompok baru yang dapat dibayarkan terpisah, yakni kasus kronik, kasus sub kronik, prosedur mahal, obat mahal, pemeriksaan mahal dan prosthesis atau implant yang mahal.

Pembagian diatas tentunya secara periodik dilakukan perubahan dari segi metodologinya dan akan melibatkan banyak pihak, dan kedepan tarif juga diberlakukan untuk kelas I dan kelas II.

Penerapan INA-CBGs ini secara halus akan memaksa rumah sakit untuk melakukan peningkatan kendali mutu, kendali biaya dan akses, sehingga rumah sakit bisa lebih efisien terhadap biaya perawatan pasien, tanpa mengurangi mutu pelayanannya, dan selebihnya menjurus kearah kondisi tarif perawatan dapat diprediksi pada awal pasien masuk rawat, dan sekaligus prediksi keuntungan rumah sakit mengalami peningkatan kadar "lebih pasti".

Manfaat Penerapan INA-CBGs

Program pemerintah terus dikembangkan, diyakini akan semakin meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk, dan peningkatan kesadaran penduduk Indonesia akan pentingnya kesehatan diri dan keluarganya, namun disisi lain, rumah sakit sebagai provider pelayanan kesehatan masih dibayangi kekhawatiran adanya nilai kerugian, berupa nilai klaim masih lebih rendah dari nilai biaya tarif rumah sakit bersangkutan, apalagi jenis penyakit termasuk jenis penyakit katastropik berasal dari kata "catastrophic" berarti bencana atau malapetaka, merupakan jenis penyakit penanganannya termasuk jenis "high cost, high volume dan high risk", bahkan kebanyakan institusi asuransi kesehatan tidak berani mencantumkan jenis penyakit ini kedalam paket manfaatnya. 

Untuk meningkatkan atmosfir efisiensi pemberian pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia, maka rumah sakit harus memiliki media alat bantu untuk memperingan kinerja manajemen dalam memberikan informasi untuk mendukung keputusannya dalam memberikan pelayanan kesehatan, media alat bantu dibangun dengan pendekatan formulir perencanaan medis, dimana formulir ini pada dasarnya sudah merupakan formulir harian harus diisi oleh tenaga kompeten bidang rekam medis.

Kebanyakan rumah sakit dalam penggunaan formulir masih sebatas untuk menyusun rencana tindakan medis pasien, masih belum digunakan sebagai evaluasi efisiensi pelayanan medis kepada pasien.

Keuntungan penerapan metode pembayaran ini adalah efisiensi kontrol biaya, jaminan mutu pelayanan kesehatan dan perencanaan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik, hal ini karena jika rumah sakit menerapkan pembiayaan prospektif dan biaya dibayarkan tanpa melihat lama pasien dirawat, maka rumah sakit akan terdorong untuk menghindari pengeluaran biaya tidak penting.

Tuntutan utama dalam kelancaran penerapan metode INA-CBGs, terletak pada kondisi nilai mutu tertib administrasi terutama kelengkapan rekam medis pasien, karena pengelompokan diagnosis sangat tergantung dengan informasi diagnosis dalam rekam medis.

Ketidaklengkapan pengisian rekam medis merupakan permasalahan klasik rumah sakit, dan berakibat terjadinya ketidaksesuaian dalam pengelompokan diagnosis, padahal nilai mutu pengelompokan diagnosis adalah dasar rujukan nilai besaran klaim biaya rumah sakit terhadap kelancaran penerimaan pembayaran pelayanan kesehatan dari pemerintah, rumah sakit akan mendapatkan pembayaran klaimnya berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh suatu kelompok diagnosis.

INA-CBGs adalah program pemerintah berguna untuk memberikan bantuan dana berobat kepada masyarakat Indonesia yang membutuhkan pelayanan kesehatan, dana diambil dari kas negara, diberikan oleh pembayar dana setelah melalui proses verifikasi oleh tim verifikator yang ditunjuk pemerintah.

Sistem casemix INA-CBGs merupakan suatu pengelompokan klasifikasi dari episode perawatan pasien, dirancang untuk menciptakan kelas-kelas relatif homogen dalam sumber daya dan berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinik sejenis.

Case Base Groups (CBGs), adalah cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus relatif sama.

Manfaat penerapan metode INA-CBGs tidak hanya dari sisi kepastian pembayaran, melainkan rumah sakit mendapatkan pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya, hal ini mendorong peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan rumah sakit, dan operator pelayanan kesehatan dapat memberikan pengobatan tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multi disiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor Quality Assessment dengan cara lebih obyektif, perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja lebih akurat, dapat melakukan evaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing operator pelayanan kesehatan, keadilan (equity) lebih baik dalam alokasi budget anggaran dan mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway.

Manfaat penerapan metode INA-CBGs, dari sisi pasien akan mendapatkan kepastian pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan, dan adanya batasan lama rawat (length of stay), maka pasien akan mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis, karena berapapun lama rawat dilakukan rumah sakit, nilai biaya klaim sudah ditentukan, hal ini mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis berlebihan.

Manfaat penerapan metode INA-CBGs, dari sisi penyandang dana pemerintah (provider), dapat meningkatkan efisiensi dalam melakukan alokasi anggaran biaya kesehatan, dengan anggaran pembiayaan lebih efisien, equity terhadap masyarakat luas akan terjangkau, dan secara kualitas pelayanan kesehatan akan lebih baik sehingga mendorong peningkatan nilai mutu kepuasan pasien, serta perhitungan tarif pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia menjadi lebih objektif karena berdasarkan biaya sebenarnya.

Kendali Mutu dan Kendali Biaya, meliputi :

*     Penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) terhadap pengembangan penggunaan pelayanan kesehatan dengan teknologi.
*     Pertimbangan klinis (clinical advisory) terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta.
*     Kajian dan evaluasi atas manfaat Jaminan Kesehatan bagi peserta.
*     Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan oleh fasilitas kesehatan.
*     Untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan kepada peserta, fasilitas kesehatan dalam memberikan pelayanan obat mengacu pada Formularium Nasional.
*     Untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan kepada peserta, fasilitas kesehatan dalam memberikan pelayanan alat kesehatan mengacu pada Kompendium Alat Kesehatan.

Evaluasi Tarif INA-CBGs

Tarif berlaku pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), merupakan tarif baru yang sudah diprogramkan sejak dua tahun lalu dan bulan Juli 2013, perubahan tarif untuk JKN akan terus dilakukan mengingat ada konsekuensi biaya dari aktivitas yang dilakukan, perubahan juga menyangkut pada data costing dari 100 rumah sakit diperluas menjadi 161 rumah sakit dari berbagai kelas dan wilayah, dengan perbaikan ini diharapkan tarif INA-CBGs akan lebih baik dari sisi metodologi maupun data yang digunakan, sesuai dengan kebutuhan rumah sakit.

Tips Rumah Sakit, untuk menggunakan sistem metode pembayaran INA-CBGs :

1.     Menata ulang perencanaan dan belanja rumah sakit.
2.     Membangun kesadaran untuk pelayanan kompetitif yang efisien dan bermutu.
3.     Menata ulang dan membangun sistem remunerasi.
4.     Mengendalikan dan mengeliminasi KTD (kejadian tidak diharapkan) dengan program Keselamatan Pasien.
5.     Menata ulang sistem pelayanan rekam medis dan administrasi klaim.
6.     Discharged planning system.
7.     Mengidentifikasi dan mengeliminasi pelayanan (medik dan non medik) yang tidak efisien.
8.     Kaji ulang proses pelayanan agar lebih efisien dan bermutu.
9.     Kaji ulang SOP pelayanan medik.
10.   Standarisasi obat dan ABHP dengan formularium dan gunakan obat generik.
11.   Bijak dalam menggunakan sumber daya rumah sakit.
12.   Mengurangi variasi pelayanan dengan Clinical Pathway.
13.   Memperbaiki mutu penulisan rekam medik.

Penting diketahui Rumah Sakit

Bahwa menurut Dr. drg. Julita Hendrartini, MKes, AAK (Direktur Umum, SDM, Akademik dan Riset, Rumah Sakit Akademik UGM), bahwa pangsa pasar dari penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional lebih dari 120 juta, baru tertangani sebesar 16 juta, dan kenaikan tarif paling besar adalah untuk Rumah Sakit tipe C.

Dengan pemberlakuan rujukan berjenjang, artinya bahwa dokter primer atau puskesmas harus merujuk pasien ke Rumah Sakit tipe C terlebih dahulu, dan hal ini tentunya menjadi berita gembira karena merupakan peningkatan pendapatan dari Rumah Sakit tipe C, kebanyakan merupakan Rumah Sakit Swasta.

Undang-undang menyebutkan bahwa provider dari sektor pemerintah hukumnya wajib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, namun untuk provider swasta tidak wajib, artinya para pengelola rumah sakit swasta, bebas menentukan akan bekerjasama dengan BPJS Kesehatan atau tidak.

Rumah Sakit Swasta tentunya harus melihat pangsa pasar yang menjadi sumber utama pendapatannya, apabila pelanggan utama untuk masyarakat menengah keatas, mungkin 1 sampai dengan 3 tahun kedepan tidak perlu risau tentang kerjasama atau tidak dengan BPJS Kesehatan, namun apabila yang menjadi pelanggan utama, kebanyakan untuk masyarakat menengah ke bawah, maka rumah sakit harus mampu memulai berkonsentrasi, berbenah diri terhadap mutu pelayanan kesehatan dan melakukan kerjasama dengan BPJS Kesehatan, berikut dengan konsekwensinya.


Konsekwensi...?

Ditambahkan bahwa Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akan masuk dan mengawasi pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia, dan hal ini Rumah Sakit diharapkan menerapkan standar pengawasan tinggi, terhadap pelaksanaan teknik cara penerbitan atau pemberian kode diagnosa, karena kode diagnosis merupakan rujukan atas pembayaran klaim pelayanan kesehatan.

Dana akan digulirkan BPJS Kesehatan, pada tahun 2014, adalah sebesar lebih dari 30 Trilyun, dan didalam UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan, menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

drg. Julita menjelaskan contoh kesalahan dalam pemberian kode diagnosis, misalnya pasien dirawat dengan diagnosis appendectomy tanpa komplikasi dan komorbiditas, namun pihak rumah sakit memasukkan datanya, dengan memberikan kode diagnosis yang menyebutkan appendectomy dengan komplikasi dan komorbiditas, sehingga nilai klaim pembayaran menjadi meningkat, karena satu diagnosis bisa memiliki variasi biaya dari 2 juta sampai dengan 22 juta rupiah.

Table index : pembagian regional bpjs, bpjs dan ina cbgs, jpn

Baca : Daftar Isi Blog Software Rumah Sakit